Pendidikan di pesantren berlangsung selama dua puluh empat jam, yang terintegrasi dalam sistem pengajaran dan pengasuhan. Masing-masing memiliki aturan yang harus dipatuhi bersama. Apakah hal ini menjadi kekangan dan belenggu yang memasung kebebasan para santri? Apakah kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan di pesantren semata-mata berdasarkan kepatuhan, tanpa ruh atau spiritualitas? Bagaimana sesungguhnya penerapan disiplin di pesantren?.

Kita ini pondok pesantren. Ada beberapa hal yang mungkin kita lupa sehingga perlu kita kembalikan pada khittah, kembali pada identitas pesantren. Bahwa kita ini bukan sekolah, tapi pondok pesantren. Pondok pesantren itu menanamkan nilai-nilai, ruh, jiwa, dalam setiap kegiatan. Bisa jadi kegiatannya sama di sekolah lain, tetapi di pesantren disampaikan nilai-nilainya.

Mudirul Ma’had Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza Kiai Zahid Purna Wibawa (26/06/2019)

Pendidikan di pesantren merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah yang menjadi sumber bagi semua nilai baik akidah, syariah dan akhlak. Kedua sumber ajaran Islam tersebut menjadi ruh bagi setiap aktivitas pendidikan di pesantren, yang membedakannya secara tegas dengan pendidikan lainnya.

Orang Jepang mereka punya sopan santun yang luar biasa, disiplin yang begitu tinggi, tetapi dasarnya adalah kebudayaan, bukan berdasarkan agama atau akhlak. Kalau dipesantren harus kembali kepada al-Qur’an dan hadits.

Kiai Zahid

Peraturan dan kebiasaan di pesantren pada dasarnya untuk menumbuhkan akhlak yang baik. Para santri diharapkan dapat menginternalisasikan nilai-nilai akhlak. Dalam hal ini, kata Kiai Zahid, para guru atau ustaz berperan dalam memberikan contoh teladan.

IKHLAS – Mudirul Ma’had Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza, Kiai Zahid Purna Wibawa menekankan keikhlasan sebagai landasan utama dalam setiap amal perbuatan

“Karena akhlak itu tidak hanya sekadar dipelajari atau dibaca, tetapi butuh contoh teladan. Dan ketika kita menyampaikan harus ada ruh dari yang menyampaikannya. Jiwanya ikut menyampaikan. Kalau hanya sekadar ilqa-ul ma’lumat, sekadar ilmu pengetahuan saja, itu mudah. Tetapi dengan ruhnya dalam menyampaikan itulah yang sulit,” terang Kiai Zahid.

Pendidikan di sejumlah negara maju memang telah menunjukkan keberhasilan yang luar biasa dari segi prestasi, kecerdasan, maupun kedisiplinan, namun mereka kosong dari segi spiritualitas. Maka di sinilah letak keunikan pendidikan pesantren, tidak hanya mendidik siswa atau santri pada aspek kecerdasan tetapi juga spiritualitas.th strategies.

“Pesantren memang memiliki kelebihan di situ, meskipun tidak mudah. Sebab kita sudah melakukannya saja, mungkin tidak seratus persen santri menyadari itu. Namun kita tetap konsisten,” ujar Kiai Zahid.

“Memang kalau kita mau seperti itu harus mau capek. Guru harus mau capek. Jangan merasa dibebani. Sesuai dengan moto Panca Jiwa Pondok yang pertama, keikhlasan. Guru harus ikhlas. Tanpa keikhlasan maka apa yang dilakukan itu tanpa jiwa. Hasilnya tidak ada,” tegas Kiai Zahid.

“Ikhlas itu nomor satu. Setelah ikhlas jangan hitung-hitungan. Jangan merasa terbebani. Jadikan sebagai sebuah ibadah,” lanjut Kiai Zahid.

Para santri di pesantren ditanamkan rasa cinta kepada ilmu sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah. Tujuan menuntut ilmu bukan untuk sekadar lulus, mendapat nilai dan ijazah. Tetapi menuntut ilmu sebagai ibadah. Dalam hal ini santri menyadari akan kebutuhan terhadap ilmu yang dipelajari. Menurut Kiai Zahid, makna atau ruh dari ilmu itu menjadi kebutuhan sehingga perlu dikenalkan kepada para santri. “Dari situ akan tumbuh rasa cinta kepada ilmu,” ujar beliau.

Demikian pula dalam pendidikan ibadah dan akhlak didasarkan pada nilai-nilai yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah. Bahkan tradisi Islam begitu kaya dengan keteladanan para nabi, sahabat, ulama dan orang-orang saleh yang dapat dijadikan contoh bagi para santri.

“Kita mempunyai hikmah-hikmah dan hikayah dari para nabi dan rasul, sahabat, dan orang-orang saleh. Kalau sudah menanamkan nilai, sebagaimana teladan mereka, ini semua akan selesai. Cinta ilmu, ibadah, akhlak, itu selesai semua. Jadi, intinya kembali kepada nilai-nilai, yang harus disampaikan oleh guru dan menjadi contoh,” ujar Kiai Zahid.

Diakui Kiai Zahid, dalam prosesnya memang tidak mudah. Membuat para santri dapat mengikuti aturan dan menerapkan nilai-nilai pesantren dengan penuh keikhlasan membutuhkan proses yang tidak sebentar. Apalagi mereka berasal dari latar belakang yang berbeda. Ada yang masuk pesantren karena paksaan orang tua. Bahkan yang dengan kemauan sendiri pun bisa merasa tidak betah.

“Sistem atau disiplin pesantren sebetulnya bukan kekangan, tapi sebuah rel. Kalau kita jalan di atas rel maka kita akan aman dan jelas tujuannya. Perlu dijelaskan pada para santri bahwa ini bukan kekangan, tetapi pembiasaan. Maka lagi-lagi guru harus memberikan contoh. Guru harus mendampingi setiap kegiatan sehingga ada sentuhan,” demikian pungkas beliau.